MENGHINDARI DIRI DARI SIFAT GHIBAH
1. Pengertian
Ghibah
Secara bahasa, kata gibah berasal dari
kata غاب يغيب- غيبا و غيبة و غيا با و
مغيبا gunjing atau
“Alghibah dalam bahasa Arab, ialah: menyebutkan kata-kata keji atau meniru-niru
suara atau perbuatan orang lain dibelakangnya (tidak dipintunya) dengan maksud
untuk menghinanya.[1]
Ghibah
menurut istilah adalah membicarakan kejelekan dan kekurangan orang lain dengan
maksud mencari kesalahan-kesalahannya, baik jasmani, agama, kekayaan,akhlak,
ataupun bentuk lahiriyah lainnya.
Nabi
Muhammad Saw menerangkan tentang ghibah dalam Sabdanya:
“Dari Abu
Hurairah. ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: ”Tahukah kamu apa ghibah
itu?” Para sahabat mmenjawab:”Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Nabi
bersabda: ”Kamu menyampaikan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”. Lalu
Rasul ditanya: ”Bagaimana jika yang saya sampaikan itu merupakan (kenyataan)
yang terjadi pada diri saudaraku itu?” Nabi Saw bersabda: ”Jika yang kamu
sampaikan itu benar terjadi pada saudaramu, berarti kamu telah menggunjingnya.
Jika tidak terjadi pada dirinya, berarti kamu telah berbuat dusta kepadanya”.
(HR. Muslim)
Ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang
terdapat pada diri seorang muslim, sedang ia tidak suka (jika hal itu
disebutkan)baik dalam soal jasmaniahnya, agamanya, kekayaannya ,hatinya,
akhlaknya, bentuk lahiriahnya dan sebagainya. Caranya pun bermacam-macam
diantaranya membeberkan aib, meniru tingkah lakuatau gerak tertentu dari orang
yang dipergunjingkandengan cara mengolok-ngolok.[2]
عن
ابي هريرة رضي الله عنه ان ر سول الله قا ل: اتد رون ما الغيبة؟ قا لوا: ذكرك أخاك
بما بكره, فقيل: أفر أيت إن كان في اخي ما أقول؟ قال: إن كان فيه ما تقول
فقد اغتبته, و إن لم يكن فيه ما تقول فقد بهته
“Dari
Abu Huroiroh bahwsanya Rosulullah bersabda : Tahukah kalian apakah ghibah itu?
Sahabat menjawab : Allah SWT dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi SAW
berkata : “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”,
Nabi SAW ditanya : Bagaimanakah pendapatmu jika itu memang benar ada padanya ?
Nabi SAW menjawab : “Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah
mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti
engkau telah berdusta atasnya”[3]
Hal ini juga telah dijelaskan oleh Ibnu
Mas’ud:
عن حماد عن إبر هيم قال:كان ابن
يقول:الغيبة أن تذكر من مسعود اخيك ما تعلم فيه. وإذا قلت ما ليس فيه فذاك البهنان
Dari
Hammad dari Ibrohim berkata : Ibnu Mas’ud berkata :”Ghibah adalah engkau
menyebutkan apa yang kau ketahui pada saudaramu, dan jika engkau mengatakan apa
yang tidak ada pada dirinya berarti itu adalah kedustaan”[4]
Syaikh Salim Al-Hilali :”Ghibah adalah
menyebutkan aib (saudaramu) dan dia dalam keadaan goib (tidak hadir dihadapan
engkau), oleh karena itu saudaramu) yang goib tersebut disamakan dengan mayat,
karena si goib tidak mampu untuk membela dirinya. Dan demikian pula mayat tidak
mengetahui bahwa daging tubuhnya dimakan sebagaimana si goib juga tidak
mengetahui gibah yang telah dilakukan oleh orang yang mengghibahinya.
2. Batasan
Ghibah dan Indikator Para Pengghibah
Batas ghibah adalah membicarakan
sesuatu yang terdapat pda orang lain, yang jika sampai kepada dia tidak akan
menyukainya.
Pembicaraan itu misalnya
a.
Pembicaraan yang berkenaan dengan Keburukan/ kekurangan tubuhnya, misalnya
menyebutkan bahwa orang itu penglihatannya rabun, kepalanya juling, kepalanya
botak atau sifat-sifat lain yang sekiranya tidak disukai untuk dibicarakan
b.
Pembicaraan yang berkenaan dengan keturunan, misalnya menyebutkan ayangnya
bahwa seorang yang fasik, seorang yang struktur sosialnya rendah atau
sebutan-sebutan lainnya yang tidak disukai jika dibicarakan
c.
Pembicaraan yang berkenaan dengan akhlak, misalnya menyebutkan orang itu kikir,
congkak, sombong, atau sifat lain yang tidak disukai jika dibicarakan
d.
Pembicaraan yang berkenaan dengan masalah agama, misalnya menyebutkan bahwa
orang itu pencuri, pendusta, peminum khamar, penghianat, penganiaan atau
sebutan-sebutan lain yang tidak suka dibicarakan
e.
Pembicaraan yang berkenaan dengan urusan dunia, misalnya menyebutkan
bahwa orang itu berbudi pekerti rendah, menganggap remeh orang lain, tidak
pernah menganggap hak orang lain pada dirinya, dan sebutan-sebuatn lain yang
tidak disukai jika dibicarakan[5]
Ibnu Taimiyah berkata tatkala
menjelaskan model-model para pengghibah, yaitu:
1. Ada orang yang mengghibah untuk
menyesuaikan diri (agar obrolannya nyambung) dengan teman-teman duduknya, para
sahabatnya, atau karib kerabatnya. Padahal ia mengetahui bahwasanya orang
yang dighibahi berlepas diri dari apa yang mereka katakan. Atau memang benar
pada dirinya sebagian apa yang mereka katakan akan tetapi ia melihat kalau ia
mengingkari (ghibah yang) mereka lakukan maka ia akan memutuskan pembicaraan,
dan para sahabatnya akan bersikap berat (tidak enak) kepadanya dan
meninggalkannya. Maka iapun memandang bahwa sikapnya yang menyesuaikan diri
dengan mereka merupakan sikap yang baik kepada mereka dan merupakan bentuk
hubungan pergaulan yang baik. Bisa jadi mereka marah jika ia mengingkari
mereka- maka iapun akan balas marah karena hal itu. Karenanya iapun tenggelam
bersama mereka untuk berghibah ria
2. Diantara mereka (para tukang
ghibah) ada yang bergibah ria dengan model yang bermacam-macam. Terkadang
menampakkan ghibah dalam bentuk agama dan kebaikan, maka ia berkata, “Bukanlah
kebiasaanku menyebutkan seorangpun kecuali hanya menyebutkan kebaikan-kebaikannya,
dan aku tidak suka ghibah, tidak juga dusta. Hanya saja aku kabarkan kepada
kalian tentang kondisinya”. Atau ia berkata, “Kasihan dia…”, atau “Ia orang
yang baik namun pada dirinya ada begini dan begitu”. Dan terkadang ia berkata,
“Jauhkanlah kami dari (pembicaraan) tentangnya, semoga Allah mengampuni kita
dan dia”, namun niatnya adalah untuk merendahkannya dan menjatuhkannya. Mereka
membungkus ghibah dengan label-lebel kebaikan dan label-lebel agama, mereka
hendak menipu Allah dengan perbuatan mereka tersebut sebagaimana mereka telah
menipu makhluk (manusia). Dan sungguh, kami telah melihat dari mereka
model-model yang banyak seperti ini dan yang semisalnya
3. Diantara mereka ada yang menjatuhkan
orang lain
karena riya’ dalam rangka untuk
mengangkat dirinya
sendiri.
Ia berkata, “Kalau seandainya tadi malam aku
berdoa dalam
sholatku untuk si fulan tatkala sampai
kepadaku kabar
tentang dirinya begini dan begitu…”,
untuk mengangkat dirinya dan menjatuhkan orang itu di sisi orang yang menganggap
orang itu baik. Atau ia berkata, “Si fulan itu pendek akalnya, telat mikirnya”,
padahal maksudnya adalah untuk memuji dirinya, untuk menunjukan bahwa dirinya
pandai dan lebih baik dari orang tersebut.
4. Diantara mereka ada yang
berghibah karena hasad (dengki), maka ia telah menggabungkan dua perkara buruk,
ghibah dan hasad. Dan jika ada seseorang yang dipuji maka berusaha
sekuat-kuatnya untuk menghilangkan (menangkis) pujian itu dengan merendahkannya
dengan berkedok agama dan kebaikan, atau mewujudkan ghibah dalam bentuk hasad,
kefajiran, dan celaan agar orang tersebut jatuh dihadapan matanya.
5. Diantaranya ada yang
mewujudkan ghibah dalam bentuk ejekan dan menjadikannya bahan mainan agar
membuat yang lainnya tertawa karena ejekannya atau ceritanya (sambil
meniru-niru gaya orang yang dihina) tersebut, serta perendahaannya terhadap
orang yang ia ejek tersebut.
6. Diantaranya ada yang
menampakkan ghibah dalam bentuk sikap ta’jub (heran). Dia berkata, “Aku heran
dengan si fulan, bagaimana ia sampai tidak mampu melakukan ini dan itu…”, “Aku
heran dengan si fulan, kenapa bisa timbul darinya ini dan itu…kenapa bisa
melakukan demikian dan demikian…”. Maka ia menampkan nama saudaranya (yang ia
ghibahi tersebut) dalam bentuk sikap keheranannya.
7. Diantaranya ada yang mewujudkan
ghibah dalam bentuk rasa sedih. Ia berkata, “Si fulan kasihan dia, sungguh aku
sedih dengan apa yang telah dilakukannya dan yang telah terjadi pada
dirinya..”. Maka orang lain yang mendengar perkataannya itu bahwa ia sedang sedih
dan menyayangkan saudaranya itu, padahal hatinya penuh dengan rasa dendam. Jika
ia mampu maka ia akan menambah-nambah lebih dari kejelekan yang terdapat pada
saudaranya itu. Bahkan terkadang ia menyebutkan hal itu dihadapan musuh-musuh
saudaranya tersebut agar mereka bisa membalasnya (menghabisinya). Model
yang seperti ini dan juga yang lainnya merupakan penyakit-penyakit hati yang
paling parah, dan juga merupakan bentuk usaha untuk menipu Allah dan para
hamba-hambaNya.
8. Diantara mereka ada yang
menampakkan ghibah dalam bentuk marah dan mengingkari kemungkaran. Dia
menampakkan kata-kata yang indah (untuk mengghibahi saudaranya) dengan cara
seperti ini (dengan alasan mengingkarai kemungkaran), padahal maksudnya
bertentangan dengan apa yang ia nampakkan. Hanya Allahlah tempat meminta
pertolongan
3. Hukum
Ghibah
Penggunjing ada empat macam, yaitu:
a. Mubah
Adalah gunjing orang yang
berterang-terangan berbuat kefasikan dan mengunjing orang-orang ahli bid’ah.
Karena Hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:
أذكرو االفا جر بما فيه كى يحذ ره الناس
“Sebutlah
orang yang berbuat durhaka dengan apa yang ada padanya, agar semua orang
berhati-hati terhadapnya.”
b. Maksiat
Maka menyebutkan seseorang mengenai
kekurangan yang ada padanya, dengan menyebutkan namanya di hadapan orang yang
sedang orang yang menyebutkan itu tahu bahwa yang demikian itu perbuatan
durhaka. Maka orang seperti ini adalah berbuat durhaka dan wajib bertaubat
c. Kemunafikan
Menyebutkan seseorang tentang
kekurangan yang ada padanya dengan tanpa menyebutkan namanya, tetapi dihadapan
orang yang mengerti bahwa orang yang menyebutkan itu mengerti tutur katanya
itu, sedang yorang yang menyebut berpendapat bahwa dirinya orang yang wira’I
(memelihara dan haramnya ghibah)
d. Kekafiran
Menyebutkan seseorang dengan kekurangan
yang tiak ada pada orang itu, didepan orang dan menyebut namanya. Lalu ketika
dikatakan padanya:”Jangan engakau menggunjing.” Dia menjawab:” Ininbukan
pergunjingan dan aku benar dalam ucapan ku itu .” Ini adalah kekafiran, karena
dia telah menganggap halal terhadap apa yang diharamkan Allah.[6]
Sepuluh
Macam Hukuman Bagi Orang yang Menggunjing
عن
ابي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم انه قال من اغتاب في عمره مرة يعا قبه
الله بعشرة عقوبات الاولى يصير بعيدا من رحمة الله والثا نية يقطع الملا ئكة عنه
الصحبة و الثا لثة يكون نزع روحه عند موته شديدا. والرابعة يصير قريبا من النار. و
الخا مسة يصير بعيدا من الجنة وا السا دسة يشتد عليه عذاب القبر والسا بعة يحبط
عمله والثا منة يتآذى روح النبي عليه الصلا ة و السلا م والتا سعة بسخط الله
عليه والعا شرة يصير مفلسا يوم القيا مة عند الميزان { زبرة الوا عظين}
“Dari
Abu Hurairah ra, dari nabi Muhammad saw beliau bersabda :” barang siapa yang
menggunjing dalam hidupnya sekali, maka Allah akan menyiksanya dengan sepuluh
macam siksaan: 1, Dia akan menjadi jauh dari rahmat Allah, 2. Malaikat akan
memutuskan hubungan berkawan dengannya, 3.Tercabut ruhnya ketika ia meninggal
sangat terasaberat (sulit), 4. Dia akan menjadi dekat dengan neraka, 5. Menjadi
jauh dari surga, 6. Berat baginya siksa kubur, 7. Amal yang dihapus, 8.
Menyakiti roh nabi Muhammad saw, 9. Allah murka padanya, 10. Dia akan menjadi
orang yang bangkrut pada hari kiamat di depan timbangan amal. (Zubdatul
Wa’idhiin)
Hukum ghibah dalam hati menurut Al-Ghazali dalam sub judul “penjelasan
pengharaman ghibah dengan hati”
Ketahuilah
bahwasanya berprasangka buruk merupakan perkara yang haram sebagaimana
perkataan yang buruk. Sebagaimana haram bagimu untuk menyampaikan kepada orang
lain tentang kejelekan-kejelekan saudaramu dengan lisanmu maka demikian juga
tidak boleh bagimu untuk menyampaikan kepada hatimu (tentang
kejelekan-kejelekan saudaramu) dan engkau berprasangka buruk terhadap
saudraramu itu. Bukanlah maksudku dengan prasangka di sini melainkan adalah
menekankan hati dan menghukumi orang lain dengan kejelekan. Adapun hanya
sekedar lintasan pikiran maka dimaafkan oleh Allah. Bahkan keraguan juga
dimaafkan oleh Allah akan tetapi yang dilarang adalah (jika sampai pada
tingkat) prasangka. Dan prasangka merupakan sesuatu keadaan dimana hati telah
condong dan cenderung meyakininya.Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Hujurat
(49):12
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ
الظَّنِّ إِثْمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa”
Dan
sebab pengharamannya adalah karena rahasia-rahasia hati tidaklah diketahui
kecuali oleh Yang Maha Mengetahui hal-hal ghoib. Maka tidak boleh engkau meyakini
kejelekan pada diri orang lain kecuali jika engkau mengungkapnya dengan melihat
dengan dua matamu sehingga tidak bisa ditakwil lagi. Maka tatkala itu tidak
mungkin bagimu untuk meyakini kecuali apa yang engkau ketahui dan engkau lihat.
Adapun apa yang tidak engkau lihat dengan mata kepalamu dan tidak engkau dengar
langsung dengan telingamu kemudian terlintas di hatimu (tentang kejelekan
saudaramu) maka ini berasal dari syaitan yang telah melemparkan prasangka
tersebut kepadamu. Oleh karena itu hendaknya engkau mendustakan syaitan karena
dia adalah makhluk yang paling fasiq
Allah telah beriman QS Al-Hujurat:6
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن
تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ
“Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya”
Maka
tidak boleh bagimu untuk membenarkan iblis. Jika disana ada indikasi yang
menunjukan akan keburukan (saudaramu) namun masih ada kemungkinan selain itu
maka tidak boleh bagimu untuk membenarkannya karena orang fasik meskipun memang
bisa jujur dalam menyampaikan berita akan tetapi tidak boleh bagimu untuk
membenarkannya. Bahkan barangsiapa yang mencium bau mulut orang lain kemudian
ia mendapatkan bau khomr (bir) maka tidak boleh baginya kecuali hanya berkata,
“Mungkin orang ini hanya sekedar berkumur-kumur dengan khomr kemudian ia
membuangnya dan tidak meminumnya”, atau “Mungkin ia dipaksa untuk meminum
khomr”, dan hal ini menunjukan akan indikasi-indikasi yang masih mengandung
kemungkinan-kemungkinan maka tidak boleh dibenarkan dengan hati dan
berprasangka buruk kepadanya.Maka tidak dibolehkan prasangka buruk kecuali
dengan perkara-perkara yang dengannya dihalalkan harta, yaitu dengan melihatnya
secara langsung atau adanya persaksian dari orang-orang yang adil. Jika ia
tidak memiliki perkara-perkara tersebut kemudian terlintas dalam benakmu
was-was prasangka buruk maka hendaknya engkau menolaknya dari dirimu dan engkau
menekankan pada hatimu bahwasanya (hakikat) keadaan saudaramu masih tertutup
(tidak engkau ketahui) sebagaimana sebelumnya. Adapun keburukan yang engkau
lihat pada dirinya masih mengandung kemungkinan-kemungkinan baik dan buruk.
4. Ghibah
Yang Di Perbolehkan
Tidak semua jenis ghibah dilarang dalam
agama. Ada beberapa jenis ghibah yang diperbolehkan, yaitu yang dimaksudkan
untuk mencapai tujuan yang benar, dan tidak mungkin tercapai kecuali dengan
ghibah. Setidaknya ada enam jenis ghibah yang diperbolehkan, yaitu yang
dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang benar, dan tidak mungkin tercapai
kecuali dengan ghibah.
Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih
Muslim dan Riyadhu As-Shalihin, menyatakan bahwa ghibah hanya diperbolehkan
untuk tujuan syara’ yaitu yang disebabkan oleh enam hal, yaitu:
1. Orang yang mazhlum (teraniaya) boleh
menceritakan dan mengadukan kedzaliman orang yang mendzhaliminya kepada seorang
penguasa atau hakim atau kepada orang yang berwenang memutuskan suatu perkara
dalam rangka menuntut haknya.
Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 148:
لَّا يُحِبُّ ٱللَّهُ ٱلۡجَهۡرَ
بِٱلسُّوٓءِ مِنَ ٱلۡقَوۡلِ إِلَّا مَن ظُلِمَۚ وَكَانَ ٱللَّهُ سَمِيعًا
عَلِيمًا
“Allah
tidak menyukai Ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh
orang yang dianiaya. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. “
Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang
teraniaya boleh menceritakan keburukan perbuatan orang yang menzhaliminya
kepada khalayak ramai. Bahkan jika ia menceritakannya kepada seseorang yang
mempunyai kekuasaan, kekuatan, dan wewenang untuk menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar, seperti seorang pemimpin atau hakim, dengan tujuan mengharapkan bantuan
atau keadilan, maka sudah jelas boleh hukumnya.
Tetapi
walaupun kita boleh meng-ghibah orang yang menzhalimi kita, pemberian maaf atau
menyembunyikan suatu keburukan adalah lebih baik. Hal ini ditegaskan pada ayat
berikutnya, yaitu Surat An-Nisa ayat 149:
إِن
تُبۡدُواْ خَيۡرًا أَوۡ تُخۡفُوهُ أَوۡ تَعۡفُواْ عَن سُوٓءٍ۬ فَإِنَّ ٱللَّهَ
كَانَ عَفُوًّ۬ا قَدِيرًا
”jika
kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau Menyembunyikan atau memaafkan sesuatu
kesalahan (orang lain), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Kuasa”
2. Meminta bantuan untuk menyingkirkan
kemungkaran dan agar orang yang berbuat maksiat kembali ke jalan yang benar.
Pembolehan ini dalam rangka isti’anah
(minta tolong) untuk mencegah kemungkaran
dan mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang hak. Selain itu ini juga
merupakan kewajiban manusia untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar. Setiap muslim
harus saling bahu membahu menegakkan kebenaran dan meluruskan jalan orang-orang
yang menyimpang dari hukum-hukum Allah, hingga nyata garis perbedaan antara
yang haq dan yang bathil.
3. Istifta’ (meminta fatwa) akan
sesuatu hal.
Misalnya
ucapan seseorang kepada seorang pemberi fatwa (mufti): “ Fulan mendzalimi aku,
atau dia mengambil hakku. Lalu bagaimana penyelesaian yang bisa dilakukan ?”
Dia boleh menyebut nama seseorang dan tindakannya secara langsung. Walaupun
kita diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang untuk meminta fatwa, untuk
lebih berhati-hati, ada baiknya kita hanya menyebutkan keburukan orang lain
sesuai yang ingin kita adukan. Misalnya :” Apa pendapat Tuan tentang seseorang
yang mendzalimi saudaranya atau yang lain?
4. Memperingatkan kaum muslimin dari
beberapa kejahatan
seperti:
a.
Apabila ada perawi, saksi, atau pengarang yang cacat sifat atau kelakuannya,
menurut ijma’ ulama kita boleh bahkan wajib memberitahukannya kepada kaum
muslimin. Hal ini dilakukan untuk memelihara kebersihan syariat. Ghibah dengan
tujuan seperti ini jelas diperbolehkan, bahkan diwajibkan untuk menjaga
kesucian hadits. Apalagi hadits merupakan sumber hukum kedua bagi kaum muslimin
setelah Al-Qur’an.
b.
Apabila kita melihat seseorang membeli barang yang cacat atau membeli budak
(untuk masa sekarang bisa dianalogikan dengan mencari seorang pembantu rumah
tangga) yang pencuri, peminum, dan sejenisnya, sedangkan si pembelinya tidak
mengetahui. Ini dilakukan untuk memberi nasihat atau mencegah kejahatan
terhadap saudara kita, bukan untuk menyakiti salah satu pihak.
c.
Apabila kita melihat seorang penuntut ilmu agama belajar kepada seseorang yang
fasik atau ahli bid’ah dan kita khawatir terhadap bahaya yang akan menimpanya.
Maka kita wajib menasehati dengan cara menjelaskan sifat dan keadaan guru
tersebut dengan tujuan untuk kebaikan semata.
5. Menceritakan kepada khalayak tentang
seseorang yang berbuat fasik atau bid’ah seperti, minum-minuman keras, menyita
harta orang secara paksa, memungut pajak liar atau perkara-perkara bathil
lainnya.
Ketika
menceritakan keburukan itu kita tidak boleh menambah-nambahinya dan sepanjang
niat kita dalam melakukan hal itu hanya untuk kebaikan.
6. Bila seseorang telah dikenal
dengan julukan si pincang, si pendek, si bisu, si buta, atau sebagainya, maka
kita boleh memanggilnya dengan julukan di atas agar orang lain langsung
mengerti. Tetapi jika tujuannya untuk menghina, maka haram hukumnya. Jika ia
mempunyai nama lain yang lebih baik, maka lebih baik memanggilnya dengan nama
lain tersebut.
Namun ada hal – hal yang harus
diperhatikan dalam masalah ghibah yang diperbolehkan di atas, yaitu :
1. Ikhlas karena Allah di dalam niat.
Maka janganlah kamu katakan ghibah yang dibolehkan bagimu untuk menghilangkan
kemarahan, mencela saudaramu atau merendahkannya.
2. Tidak menyebut nama seseorang selagi
bisa dilakukan
3. Agar ketika membicarakan seseorang
hanya tentang apa yang telah diperbuatnya dengan sesuatu yang diijinkannya, dan
janganlah membuka pintu ghibah untuk menjatuhkan, sehingga menyebutkan
aib-aibnya.
4. Berkeyakinan kuat tidak akan terjadi
kerusakan yang lebih besar dari manfaatnya.
Namun ada beberapa yang yang kita
anggap biasa, tapi itu merupakan sebuah perbuatan ghibah. Hal ini yang harus
diwaspadai, seringkali kita tidak sadar bahwa perbuatan yang sebenarnya itu
adalah ghibah, karena ketidaktahuan kita atau karena menuruti hawa nafsu
sehingga menganggap hal tersebut bukan ghibah. Hal-hal yang dianggap ghibah
tapi sebenarnya adalah ghibah diantaranya :
1. Terkadang seseorang menggunjing
saudaranya, dan jika dia dicegah/diingkari, dia malah berkata,” Aku siap
mengatakan di hadapannya.” Dan, hal ini bias dibantah dengan beberapa bantahan
diantaranya:
a. Bahwasannya kamu telah membicarakan
orang di belakangnya dengan sesuatu yang dibenci, dan ini adalah ghibah.
b. Kesiapanmu untuk mengatakan di
hadapannya, adalah suatu perkara lain yang berdiri sendiri. Di dalamnya, tidak
ada dalil yang menunjukkan bahwasannya kamu boleh membicarakan saudaramu
dibelakangnya dengan apa yang dibencinya.
2. Ucapan seseorang di tengah-tengah
sekelompok orang sewaktu menggunjing orang tertentu,” Kami berlindung kepada
Allah dari sedikit malu,”Kami berlindung kepada Allah dari kesesatan,” dan lain
sebagainya. Sesungguhnya dia menggabungkan antara celaan terhadap orang yang
digunjing dan antara pujian terhadap hawa nafsu.
3. Begitu pula, perkataan seseorang,”
Si fulan sedang diuji dengan ini,”atau“Kita semua melakukan ini”
4. Perkataan seseorang,” Sebagian orang
telah melakukan hal ini,” atau “…sebagian ulama fikih,” dan lain sebagainya,
jika yang diajak bicara memahaminya sendiri,demi tercapainya pemahaman.
5. Perkataan seseorang,” Afandi telah
berbuat begini,” atau “Paduka tuan” dan sebagainya, jika bermaksud untuk
merendahkannya.
6. Ucapan
mereka,”Ini perkara kecil boleh digunjingkan.”Tetapi,manakah dalil yang
membolehkan ghibah semacam ini, selama nash-nash yang muncul bersifat mutlak?
7. Menganggap remeh
masalah ghibah kepada pelaku maksiat. Adapun orang yang terang-terangan
melakukan maksiat, maka diperbolehkan untuk menggunjingnya. Sedangkan
menganggap enteng masalah ghibah terhadap pelaku maksiat secara mutlak, itu
tidak boleh. Karena sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda “Ghibah
itu kamu membicarakan saudaramu dengan sesuatuyangdibencinya” Dalam hal ini
mencakup orang muslim yang taat, dan durhaka atau berbuat maksiat
8. Ucapanmu,” Ini
orang India, Mesir, Palestina, Yordania, ‘ajam ( non arab ), keturunan Arab,
Badui, Kampungan, tukang sepatu, tukang batu atau tukang besi.” Jika ucapan itu
mengandung unsure ejekan atau penghinaan.
Namun jika menjuluki orang lain, dan orang lain itu tidak membenci julukan itu
maka hukumnya menurut As-Shon’ani : “ Dan pada perkataan Rosulullah SAW (dengan
apa yang dia banci), menunjukan bahwa jika dia (saudara kita yang kita
ghibahi tersebut) tidak membencinya aib yang ditujukan kepadanya, seperti
orang-orang yang mengumbar nafsunya dan orang gila, maka ini bukanlah ghibah”.
Bagaimana
apabila mengghibahi orang kafir, maka menurut As-Shon’ani : “Dan perkataan
Rosulullah (dalam hadits Abu Huroiroh di atas) (saudaramu) yaitu saudara
seagama merupakan dalil bahwasanya selain mukmin boleh mengghibahinya”. Berkata
Ibnul Mundzir :”Dalam hadits ini ada dalil bahwasanya barang siapa yang bukan
saudara (se-Islam) seperti yahudi, nasrani, dan seluruh pemeluk agama-agama
(yang lain), dan (juga) orang yang kebid’ahannya telah mengeluarkannya dari
Islam, maka tidak ada (tidak mengapa) ghibah terhadapnya”.
Berkata Syaikh Salim
Al-Hilal :”Jika kita telah mengetahui hal itu (yaitu orang yang dipanggil
dengan julukan-julukan yang jelek namun dia tidak membenci julukan-julukan
jelek tersebut bukanlah suatu ghibah yang haram, sebab ghibah adalah engkau
menyebut saudaramu dengan apa yang dia benci, tetapi orang yang memanggil
saudaranya dengan laqob (yang jelek) telah jatuh di dalam larangan Al-Qur’an
(yaitu firman Allah SWT: Dan janganlah kalian saling- panggil-memanggil dengan
julukan-julukan yang buruk. (Al-Hujurot: 11) yang jelas melarang saling
panggil-memanggil dengan julukan (yang jelek) sebagaimana tidak samar lagi
(larangan itu)”.
5. Ghibah
yang di Haramkan
Terlukai,
darah akan mendidih, emosi tidak terkendali hingga menggunung dendam dan
permusuhan. Karena itu, Rasulullah telah mengingatkan, "Jangan banyak
bicara yang tidak ingat kepada Allah, karena sesungguhnya banyak bicara tanpa
mengingat selain Allah Ta'ala, dapat menyebabkan kerasnya hati. Dan sesungguhnya
sejauh-jauh manusia dari pada Allah Ta'ala itu orang yang berhati keras
(beku)." (HR. At Tirmidzi dari Ibnu Umar ra.)
Adapun
ghibah yang dilarang oleh Islam adalah membicarakan aib orang lain yang
meliputi:
-
Membicarakan cacat anggota tubuh seseorang dengan maksud merendahkan derajat
dan martabatnya.
-
Membicarakan keburukan sifat dan akhlak seseorang dengan maksud agar diketahui
oleh khalayak ramai.
-
Membicarakan keburukan amal dan perbuatan seseorang dengan maksud agar
dicemoohkan oleh masyarakat.
-
Membicarakan berbagai kekurangan orang kepada orang lain dengan maksud-maksud
tertentu, yang tidak berkaitan dengan syariat Islam.
Dapat
dipahami bahwa hukum ghibah adalah haram, seperti haramnya memakan daging
bangkai saudaranya sendiri.
"Dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya." (Al
Hujaraat: 12).
Ternyata
dosa ghibah juga lebih besar daripada berbuat zina. "Hati-hatilah kamu dari
ghibah, karena sesungguhnya ghibah itu lebih berat dari pada berzina. Ditanya,
bagaimanakah? Jawabnya, "Sesungguhnya orang yang berzina bila bertaubat
maka Allah akan mengampuninya, sedangkan orang yang ghibah tidak akan diampuni
dosanya oleh Allah, sebelum orang yang di ghibah memaafkannya." (HR
Albaihaqi, Atthabarani, Abu Asysyaikh, Ibn Abid)
Ghibah
juga sama dengan riba, bahkan lebih berat lagi dosanya. Sebagaimana, Rasulullah
Saw. bersabda: "Tahukah kamu seberat-berat riba di sisi Allah?"
Jawab sahabat:
"Allah
dan Rasul- Nya yang lebih mengetahui." Nabi Saw. bersabda: "Seberat-berat
riba di sisi Allah ialah menganggap halal mengumpat kehormatan seorang muslim."
Kemudian Nabi Saw. membaca ayat yang artinya: "Dan orang-orang yang
menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka
perbuat, maka sesungguhnya mereka telah
memikul
kebohongan dan dosa yang nyata." (Al Ahzab: 56)
6. Penyebab
Ghibah
Penyebab perilaku ghibah adalah:
a.
Pendorong utama dari ghibah adalah kemarahan serta dendam yang tertahan dalam
hati
b.
Mendukung teman dan berbasa basi kepada mereka dengann membantu memperkuat
perkataan mereka yang menjelek-jelekkan kehormatan orang lain
c.
Merasa bahwa orang lain tengah memusuhidan membicarakan dirinya atau
menjelek-jelekkan keadaannya sehigga dia akan mendahuluinya sebelum keadaan
dirinya lebih buruk lagi
d.
Melakukan suatu perbuatan, tetapi kemudoan ia membersihkan diri dari penilaian
orang lain yang buruk terhadap perbuatan tersebut
e.
Keinginan untuk dianggap lebih tinggi, lebih megah, dan lebih mulia serta
kecendrungan untuk membanggakan dan menyombongkan diri
f.
Kedengkian . Biasanya gunjing diarahkan kepada seorang yang banyak dipuji,
dicintai, dan kemuliakan oleh orang lain
g.
Bergurau dan bermain, serta menghabiskan waktuuntuk tertawa yang tidak ada
manfaatnya sama sekali
h.
Menganggap hina, rendah, dan lemah orang lain[7]
Dalam buku Sa’id
Hawa, mensucikan jiwa menambahkan tiga penyebab lainnya yang khusus pada
ahli agama dan orang-orang khusus, maka ia termasuk sebab-sebab samar dan
tersembunyi. Memang ia mengandung kebaikan tetapi syeitan menyusup keburukan di
dalamnya.
a.
Munculnya rasa heran dan menolak kemungkaran dan kesalahan agama, lalu ia
mengatakan,” Sungguh heran, apa yang aku lihat pada si Fulan.” Bisa jadi ia
mengungkapkan yang sebenarnya, tetapi seharusnya tidak disertai dengan
menyebutkan namanyasrhingga menudahkan syeitan untuk mendorong menyebutkan
namanya dalam mengungkapkan keheranannya.
b.
Mengasihani. Yaitu merasa sedih disebabkan oleh apa yang menimpanya, lalu ia
berkata,” mungkin si Fulan, apa yang dialami sungguh membuatku sedih.” Mungkin
ia jujur dalam mengungkapkan rasa sedihnya tetapi perasaan sedih itu membuatnya
lupa sehinga ia menyebutkan nmanya
c.
Marah karena Allah. Ia marah kepada kemungkaran yang dilakukan seseorang atau
kemungkaran yang didengarnya lalu ia menunjukkan kemarahannya dengan
menyebutkan namanya, padahal seharusnya menunjukkan kemarahannya dengan memerintahkan
yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran dengan tidak menampakkannya kepada orang
lain.[8]
7.
Dampak dari ghibah
Kerugian yang paling berbahaya dari
ghibah adalah hancurnya kepribadian batin si peng-ghibah. Orang yang
melanggar jalan alami pemikirannya itu akan kehilangan keseimbangan pikiran dan
sistem perilaku yang luhur, di samping merugikan perasaan orang dengan
mengungkapkan rahasia dan kesalahan mereka.
Dr. Alexis Carl, cerdekiawan Prancis termasyhur, mengatakan,
Kita memerlukan dunia di mana setiap orang dapat memperoleh
tempat yang patut bagi dirinya sendiri tanpa membeda-bedakan antara kebutuhan
material dan spiritual. Dengan begitu, kita akan mampu menyadari bagaimana kita
dapat hidup, karena kita akan memahami bahwa maju di jalan kehidupan tanpa
tuntunan yang benar adalah hal yang berbahaya. Setelah kita menyadari bahaya
ini
Ghibah menghancurkan
mahkota moralitas manusia dan merenggut martabat dan kualitas-kualitas mulia
dengan kecepatan yang menakjubkan. Sebenarnya, ghibah membakar habis
nadi moral di jantung si peng-ghibah. Ghibah menyimpang kan pemikiran
murni, sehingga jalan penalaran dan pemahaman mengalami jalan buntu.
Adapun dampak yang
ditimbulkan akibat ghibah, hati menjadi kotor dan jiwa tercabik-cabik, sehingga
semua anggota jasmani yang lain juga ikut merasakannya. Sampai mereka protes
terhadap lidah, bila diungkapkan dalam bentuk kata, maka tersusun kalimat:
"Takutlah
kepada Allah (hai lidah) di dalam memelihara keselamatan kami (anggota
jasmani), sebab kami tergantung kepadamu, maka jikalau kamu lurus niscaya kami
pun jadi lurus, dan jikalau kamu bengkok niscaya kami pun jadi bengkok
(pula)."
(HR. Tirmidzi dari Abu Sa’id Al Khurdri ra.).
Ghibah
sangat berbahaya karena dampaknya dapat merusak keharmonisan keluarga,
tetangga, teman sekantor dan saudara seiman, bahkan dapat memecah-belah dan
meruntuhkan sebuah organisasi atau negara. Sejarah telah membuktikan, bagaimana
sebab-sebab terjadinya perpecahan yang melanda umat Islam pasca wafatnya
Rasulullah Saw. Persoalannya ada pada hati umat Islam itu sendiri yang hatinya
telah dipenuhi penyakit ghibah.
Ghibah
dapat dikategorikan pembunuhan martabat orang lain, karena dengan menggunjing
seseorang berarti sama halnya menyiksa secara perlahan-lahan dan membenamkan kehormatannya.
Sebagai dampaknya, orang yang menjadi korban akan kehilangan kepercayaan
orang lain dan dapat menutup pintu-pintu rezeki baginya. Maka sudah selayaknya,
bagi orang-orang yang suka ghibah tergelincir ke dalam jurang neraka, akibat
dari perkataannya sendiri.
"Sesungguhnya
adakalanya seorang hamba berbicara sepatah kata yang tidak diperhatikan,
tiba-tiba ia tergelincir ke dalam neraka oleh perkataan itu (yang dalamnya)
lebih jauh dari jarak antara timur dengan barat." (HR.Bukhari dan Muslim
dari Abu Hurairah ra.).
8. Cara
Menghindari Diri dari Sifat Ghibah
Dalam sebuah situs
internet, menyebutkan beberapa cara menghilangkan sifat ghibah dalam diri,
yaitunya
Penyakit yang satu
ini begitu mudahnya terjangkit pada diri seseorang. Bisa datang melalui
televisi, bisa pula melalui kegiatan arisan, berbagai pertemuan, sekedar
obrolan di warung belanjaan, bahkan melalui pengajian. Untuk menghindarinya
juga tak begitu mudah, mengharuskan kita ekstra hati-hati.
1. Berbicara
Sambil Berfikir
Cobalah untuk
berpikir sebelum berbicara, ‘perlukah saya mengatakan hal ini?’ dan kembangkan
menjadi, ‘apa manfaatnya ? Apa mudharatnya?’. Berarti, otak harus senantiasa
digunakan, dalam keadaan sesantai apapun. Seperti Rasulullah saw, yang biasanya
memberi jeda sesaat untuk berfikir sebelum menjawab pertanyaan orang.
2. Berbicara Sambil
Berzikir
Berzikir di sini
maksudnya selalu menghadirkan ingatan kita kepada Allah SWT. Ingatlah betapa
buruknya ancaman dan kebencian Allah kepada orang yang ber-ghibah. Bawalah
ingatan ini pada saat berbicara dengan siapa saja, dimana saja dan kapan saja.
3. Tingkatkan rasa
Percaya Diri
Orang yang tidak
percaya diri, suka mengikut saja perbuatan orang lain, sehingga ia mudah
terseret perbuatan ghibah temannya. Bahkan ia pun berpotensi menyebabkan
ghibah, karena tak memiliki kebanggaan terhadap dirinya sendiri sehingga lebih
senang memperhatikan, membicarakan dan menilai orang lain
4. Buang Penyakit
Hati
Kebanyakan ghibah
tumbuh karena didasari rasa iri dan benci, juga ketidakikhlasan menerima
kenyataan bahwa orang lain lebih berhasil atau lebih beruntung daripada kita.
Dan kalau dirinya kurang beruntung, diapun senang menyadari bahwa masih banyak
orang lain yang lebih sengsara daripada dirinya.
5. Posisikan Diri
Ketika sedang membicarakan
keburukan orang lain, segera bayangkan bagaimana perasaan kita jika keburukan
kita pun dibicarakan orang. Seperti hadis yang menjanjikan bahwa Allah akan
menutupi cacat kita sepanjang kita tidak membuka cacat orang lain, sebaliknya
tak perlu heran jika Allah pun akan membuka cacat kita di depan orang lain jika
kita membuka ` cacat orang.
6. Hindari, ingatkan,
diam atau pergi
Hindarilah segala
sesuatu yang mendekatkan kita pada ghibah. Seperti acara-acara bernuansa ghibah
di televisi dan radio. Juga berita-berita koran dan majalah yang membicarakan
kejelekan orang. Jika terjebak dalam situasi ghibah, ingatkanlah mereka akan
kesalahannya. Jika tak mampu, setidaknya anda diam dan tak menanggapi ghibah
tersebut. Atau anda memilih hengkang dan ‘menyelamatkan diri[9]
Dan ada juga cara
lain untuk menghindari diri dari ghibah, Untuk menghindari ghibah kita harus
sadar bahwa segala apa yang kita ucapkan semuanya akan dicatat dan akan
dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur ‘@ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
“Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya.”
Hendaknya sebelum berucap kita
renungkan dahulu akibat yang timbul dari ucapan-ucapan kita. Ibnul Qoyyim
berkata, “Adapun menjaga ucapan-ucapan maka caranya adalah janganlah seseorang
sampai mengeluarkan sebuah lafalpun dengan sia-sia. Bahkan janganlah ia
berbicara kecuali tentang sesuatu yang mendatangkan keuntungan atau tambahan
bagi agamanya. Jika ia hendak mengucapkan suatu perkataan maka hendaknya ia
renungkan terlebih dahulu, apakah perkataan tersebut mendatangkan keuntungan
dan berfaedah atau tidak?. Jika tidak ada untungnya maka hendaknya ia menahan
lisannya dan tidak mengucapkannya. Kemudian jika pada perkataan tersebut ada
keuntungannya maka ia renungkan lagi apakah ia bisa mengungkapkannya dengan
perkataan lain yang lebih baik dan berfaedah daripada perkataan yang pertama?,
jika ada maka janganlah sia-siakan perkataan tersebut dan lantas mengucapkan
perkataan pertama (yang kurang faedahnya).”
Dan jika kita tidak menjaga lisan kita
-sehingga kita bisa berbicara seenak kita tanpa kita timbang-timbang dahulu
yang akhirnya mengakibatkan kita terjatuh pada ghibah atau yang lainnya- maka
hal ini akibatnya sangat fatal. Sebab lisan termasuk sebab yang paling banyak
memasukkan manusia ke dalam neraka. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam
وَ هَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِيْ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ
إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ ؟
“Bukankah tidak ada yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka melainkan akibat
lisan-lisan mereka ?”
Demikian juga sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ : الفَمُ
و الْفَرَجُ
“Yang paling banyak memasukkan manusia
ke dalam neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan”
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه
أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ : إِنَّ الْعَبْدَ
لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَة مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِيْ لَهَا بَالاً يَهْوِيْ
بِهَا فِيْ جَهَنَّمَ
Dari Abu Huroiroh radliyallahu ‘anhu bahwasanya beliau mendengar Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Sungguh seorang hamba benar-benar akan
mengatakan suatu kalimat yang mendatangkan murka Allah yang dia tidak
menganggap kalimat itu, akibatnya dia terjerumus dalam neraka jahannam
gara-gara kalimat itu”.(Bukhori)
Sehingga karena saking sulitnya menjaga
lisan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda
عَنْ سَهْلٍ بْنِ سَعْدٍ رضي الله
عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله ِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ يَضْمَنْ لِيْ مَا
بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Dari Sahl bin Sa’d radliyallahu ‘anhu dia berkata : Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :”Barangsiapa yang menjamin kepadaku (keselamatan)
apa yang ada diantara dagunya (yaitu lisannya) dan apa yang ada diantara kedua
kakinya (yaitu kemaluannya) maka aku jamin baginya surga”. (Bukhori dan Muslim)
Berkata Imam Nawawi : “Ketahuilah,
bahwasanya ghibah adalah seburuk-buruknya hal yang buruk, dan ghibah merupakan
keburukan yang paling tersebar pada manusia sehingga tidak ada yang selamat
dari ghibah ini kecuali hanya segelintir manusia”
Berkata Imam Syafi’i:
اِحْفَظْ لِسَانَكَ أَيُّهَا
الإِنْسَـانُ لاَ يَـلْدَغَنَّكَ فَإِنـَّهُ
ثُعْـبَانٌ
كَمْ فِيْ الْمَقَايِرِ مِنْ قَتِيْلِ
لِسَانِهِ كَانَتْ تَهَابُ لِقَائَهُ الشُّجْعَانُ
“Jagalah
lisanmu wahai manusia
Janganlah lisanmu sampai menyengat engkau, sesungguhnya dia seperti ular
Betapa banyak penghuni kubur yang terbunuh oleh lisannya”
Sebagian orang tidak bisa mengendalikan
lisannya, tidak peduli dengan apa yang diucapkannya, tidak peduli siapapun yang
sedang ia bicarakan, yang sedang ia rendahkan, yang ia jatuhkan harga dirinya,
tidak peduli siapa yang sedang ia ghibahi.
Apalagi ghibah yang ia lakukan berkaitan dengan agama seseorang.
Berkata Al-Qurthubhi, “..Para ulama
sejak masa awal dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para tabi’in setelah mereka, tidak ada ghibah yang lebih parah menurut
mereka dari ghibah yang berkaitan dengan agama (seseorang), karena aib yang
berkaitan dengan agama merupakan aib yang terberat. Setiap orang mukmin lebih
benci jika disinggung kejelekan agamanya daripada jika disinggung
(cacat)tubuhnya”
Bahkan para ulamapun tidak selamat dari
lisannya. Tidak hanya ulama di masanya yang tidak selamat dari lisannya bahkan
ulama masa lalupun tidak selamat dari lisannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda
وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ
بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِي
جَهَنَّمَ
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kalimat yang menjadikan Allah
murka dan ia tidak perduli dengan perkataan tersebut maka iapun terjerumus
dalam neraka Jahannam”
Dia tidak tahu bahwasanya bisa jadi
orang yang ia ghibahi atau yang ia rendahkan dan ia lecehkan kedudukannya
disisi Allah sangatlah agung. Ia tidak menyangka bahwa ucapannya tersebut yang
terasa sangatlah ringan di lisannya ternyata sangatlah berat di sisi Allah.
وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّناً وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ
Dan kamu menganggapnya suatu yang
ringan saja, padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (QS. An-Nur:15)
Ia tidak tahu bahwa satu kalimat yang
ia keluarkan untuk menggibahi orang tersebut atau merendahkan kedudukannya dan
harga dirinya bisa menghancurkan kabaikan-kebaikannya yang banyak yang seukuran
gunung yang telah ia kumpulkan bertahun-tahun dengan penuh perjuangan dan
keletihan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوْا
الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ
الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ
وَزَكاَةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا
وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ َهَذَا مِنْ
حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ
مِنْ َطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ
طُرِحَ فِي النَّارِ
“Tahukah kalian apa yang disebut dengan orang yang bangkrut?”, mereka (para
sahabat) berkata, “Orang bangkrut yang ada diantara kami adalah orang yang
tidak ada dirhamnya dan tidak memiliki barang”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang
pada hari kiamat dengan membawa amalan sholat, puasa, dan zakat. Dia datang dan
telah mencela si fulan, telah menuduh si fulan (dengan tuduhan yang tidak
benar), memakan harta si fulan, menumpahkan darah si fulan, dan memukul si
fulan. Maka diambillah kebaikan-kebaikannya dan diberikan kepada si fulan dan
si fulan. Jika kebaikan-kebaikan telah habis sebelum cukup untuk menebus
kesalahan-kesalahannya maka diambillah kesalahan-kesalahan mereka (yang telah
ia dzolimi) kemudian dipikulkan kepadanya lalu iapun dilemparkan ke neraka”
Dikatakan kepada Al-Hasan Al-Bashri
bahwasanya si fulan telah mengghibahmu. Maka beliaupun mengirim sepiring makanan
yang manis kepada orang yang telah mengghibahnya tersebut lalu berkata
kepadanya, “Telah sampai kabar kepadaku bahwasanya engkau telah menghadiahkan
(pahala) kebaikan-kebaikanmu kepadaku maka aku ingin membalas kebaikanmu
tersebut
Dari Al-Hasan Al-Bashri bahwasanya ada
seseorang yang berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau telah mengghibahku!”.
Maka beliau berkata, ماَ
بَلَغَ قَدْرُك عِنْدِي أَنْ أُحَكِّمَكَ فِي حَسَنَاتِي
“Kedudukanmu tidaklah cukup di sisiku sehingga aku membiarkan engkau berhukum
(seenaknya) pada (pahala) kebaikan-kebaikanku”
Berkata Imam An-Nawawi, “Kami telah
meriwayatkan dari Ibnul Mubarok bahwasanya ia berkata, لَوْ كُنْتُ مُغْتَاباً أَحَداً
لاَغْتَبْتُ وَالِدَيَّ لأَنَّهُمَا أَحَقُّ بِحَسَنَاتَي
“Kalau seandainya aku mengghibahi seseorang maka aku akan menggibahi kedua
orangtuaku karena mereka berdualah yang lebih berhak (untuk memeperoleh)
kebaikan-kebaikanku”
Berkata Ibnu Taimiyah, “Adapun hak
orang yang terdzolimi maka tidaklah gugur hanya dengan sekedar
bertaubat…barangsiapa yang bertaubat dari kedzoliman maka tidaklah gugur hak
orang yang terdzolimi dengan taubatnya tersebut, akan tetapi merupakan
kesempurnaan taubatnya hendaknya ia mengganti hak tersebut dengan yang seperti
kedzoliman yang dilakukannya. Jika ia tidak mengganti hak tersebut di dunia
maka ia pasti akan menggantinya di akhirat. Maka wajib bagi orang yang berbuat
dzolim yang telah bertaubat untuk memperbanyak perbuatan-perbuatan baik hingga
jika orang-orang yang didzoliminya telah mengambil kebaikan-kebaikannya (kelak
diakhirat sebagai penebus hak-hak mereka) maka ia tidak jadi orang yang
bangkrut (yaitu masih tersisa kebaikan-kebaikannya). Meskipun demikian jika
Allah menghendaki untuk menebus hak orang yang terdzolimi dari sisiNya maka
tidak ada yang menolak karuniaNya, sebagaimana jika Allah menghendaki untuk
mengampuni dosa-dosa yang dibawah kesyirikan bagi siapa yang ia kehendak
Dan ghibah merupakan kedzoliman yang
berkaitan dengan kehormatan. Allah berfirman
dalam QS Al-Hujurat(24):12
=Ïtä†r& óOà2߉tnr& br& Ÿ@à2ù'tƒ zNóss9 ÏmŠÅzr& $\GøŠtB çnqßJçF÷dÌs3sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# Ò>#§qs? ×LìÏm§‘ ÇÊËÈ
Adakah
seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
Allah telah memperingatkan kaum
mukminin untuk bertaubat dari ghibah dan ia merupakan kedzoliman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لَتُؤَدُنَّ الْحُقُوْقَ إِلَى أَهْلِهَا
يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادُ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنَ الشَّاةِ
الْقُرَنَاءِ
“Kalian akan menunaikan hak-hak kepada para pemiliknya pada hari kiamat,
hingga kambing yang bertanduk diqishos untuk kambing yang tidak bertanduk”
Oleh karena itu karena besarnya bahaya
menjatuhkan harga diri seorang muslim tanpa hak maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ
فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدَرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ
تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِّلَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang melakukan kedzoliman kepada seseorang baik berkaitan
dengan harga dirinya atau yang lainnya maka hendaknya ia memintanya untuk
menghalalkannya pada hari ini sebelum datang hari yang tidak ada dinar dan
tidak juga dirham. Jika ia memiliki amalan sholeh maka akan diambil darinya
sesuai dengan ukuran kedzolimannya. Dan jika ia tidak memiliki kebaikan maka
akan diambil kejelekan-kejelekan orang tersebut dan dipikulkan kepadanya”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengkhususkan penyebutan harga diri pada hadits ini menunjukan bahwa
perkara melecehkan harga diri orang lain tanpa alasan yang dibenarkan merupakan
perbuatan yang berbahaya.
Berkata Sufyan bin Husain, “Aku
menyebutkan kejelekan seseorang dihadapan Iyas bin Mu’awiyah, maka iapun
memandang ke wajahku dan berkata, “Apakah engkau telah berjihad melawan negeri
Romawi?”, aku berkata, “Tidak”, beliau berkata, “Engkau telah berjihad melawan
Sind, India, dan Turki?”, aku berkata, “Tidak”. Beliau berkata, “Apakah
(orang-orang kafir) dari Romawi, Sind, India, dan Turki selamat dari
(kejahatanmu) dan saudaramu sesama muslim tidak selamat dari kejahatan
(lisan)mu?”. Berkata Sufyan, “Maka aku tidak pernah menggibah lagi setelahitu”.
Renungkanlah perkataan Ibnul Haaj
Al-Faasi Al-Maliki berikut ini, “Ketahuilah bahwasanya penyebab timbulnya
ghibah adalah karena tazkiyatun nafs (merasa diri sudah suci) dan ridho dengan
diri. Karena engkau hanyalah merendahkan orang lain (saudara) karena ada
keutamaan yang kau dapati pada dirimu (dan tidak terdapat pada saudaramu itu).
Engkau hanya menggibahnya dengan menyebutkan perkara-perkara kejelekan yang
engkau berlepas diri dari perkara-perkara tersebut, dan engkau tidak akan
menggibahnya dengan menyebutkan aibnya kecuali aib-aib yang terdapat pada
dirimu lebih banyak. Dan ghibahmu itu tidaklah diterima (didengar dan
disetujui) kecuali oleh orang-orang yang juga semisalmu. Jika seandainya engkau
memikirkan bahwasanya kekurangan yang terdapat pada dirimu lebih banyak maka
engkau akan meninggalkan mengghibahnya dan engkau akan merasa malu kalau sampai
mengghibahnya karena aib yang terdapat pada dirimu lebih banyak daripada aib
yang engkau sebutkan pada saudaramu itu. Kalau engkau mengetahui bahwasanya
dosa yang kau lakukan merupakan dosa yang besar karena telah mengghibahnya dan
engkau menyangka bahwa engkau bebas dari aib-aib maka niscaya engkau tidak akan
mengghibahnya dan engkau akan sibuk memikirkan aib-aibmu sendiri dan tidak
sibuk mengurusi aib-aibnya…maka berhati-hatilah wahai saudaraku dari penyakit
ghibah sebagaimana engkau berhati-hati dari malapetaka ang sangat besar yang
akan menimpamu. Karena sesungguhnya ghibah jika datang menimpa seseorang dan
mengakar di hati serta pemiliknya mengizinkan dirinya untuk membiarkan ghibah
menempati hatinya maka ghibah tidaklah akan ridho (rela) untuk tinggal
sendirian di hatinya hingga sang hati memperluas tempat tinggal untuk
saudara-saudara ghibah yaitu namimah, al-baghyu, berprasangka buruk, dusta, dan
kesombongan. Orang yang cerdas tidak akan membiarkan hal ini menimpa dirinya,
orang yang bijak tidak akan ridho dengan hal seperti ini. Seorang wali Allah
tidak akan membiarkan penyakit ghibah bercokol di hatinya
Dalam buku Sa’id Hawwa dalam buku
mensucikan jiwa, cara mengobati penyakit lidah dari ghibah, yaitu ada dua
jalan, yaitu
a.
Pengobatan secara umum
Mengetahui bahwa ghibah dapat mendatangkan kemurkaan Allah
Mengetahui bahwa ghibah dapat membatalkan kebaikan-kebaikan di akhirat
Mengetahui bahwa ghibah dapat memindahkan kebaikan-kebaikannya kepada orang
yang digunjingkannya, sebagai ganti dari kehormatan yang telah dinodai
Jika hamba meyakini berbagai nash tentang ghibah niscaya lidahnya tidak akan
melakukan ghibah karena takut kepada hal tersebut
Akan bermanfaat juga jika dia merenungkan tentang dirinya
Akan bermanfaat baginya jika dia mengetahui bahwa orang lain merasa sakit
karena ghibah yang dilakukannya sebagaimana dia merasa sakit bila orang lain
menggunjingnya
b.
Pengobatan secara rinci
Adalah dengan
memperhatikan sebab yang melakukan ghibah, karena obat penyakit adalah dengan
memutuskan sebab-sebabnya[10]
Untuk dapat menahan
jiwa dari ghibah, ada beberapa cara untuk dilakukan,yaitu:
1.
Belajar dan membaca
2.
Bercakap-cakap dengan diri sendiri dan bermuhasabah (intropeksi
diri/menghitungkan untung ruginya)
3.
Mengolah ilmu dan amal[11]
Berikut langkah-langkah untuk dapat
menghindari diri dari ghibah:
Merenung sejenak tentang akibat dari perbuatan dosa baik di
dunia maupun di akhirat. Refleksikan dengan segala yang menakutkan yang akan
menimpa anda ketika di dalam kubur, di alam barzakh, dan hari kebangkitan.
Camkan kata-kata Rasulullah saw dan ahlulbaitnya, sebagai kata-kata mutiara yang akan menyirami jiwa anda.
Kemudian timbang seperempat dari satu jam berbasa-basi, bergosip, kepuasan dari
nafsu imajinatif dalam ribuan tahun kesulitan atau hukuman kekal di neraka dan
siksa yang kekal menyakitkan!
Pertimbangkan ini: Meski Anda mempunyai kebencian pada orang,
janganlah menggunjing. Dalam riwayat disebutkan bahwa kebaikan orang yang
menggunjing akan dipindah ke catatan korban yang digunjing dan dosa-dosa korban
pergunjingan itu akan dipindah ke catatan si penggunjing.
Taubat dan memohon ampunan pada korban yang digunjing, jika
ini memungkin tanpa ada konsekuensi kecurigaan di dalamnya; jika tidak, Anda
harus memohon dengan sangat pada Allah Yang Maha Pengampun untuk si korban.
Kumpulkan seluruh
kekuatan untuk menghilangkan dosa-dosa dari jiwa apapun resikonya, dengan
berjanji pada diri sendiri untuk menjauhkan diri dari segala perbuatan keji. Jaga lidah anda dan perhatikan penuh pada diri Anda dan
tetap waspada, panggil diri Anda untuk merenung. InshaAllah, semoga setelah
beberapa waktu anda akan menemukan diri anda berubah dan bebas dari semua
penyakit jiwa tsb. Perlahan beban akan hilang, dan anda akan membenci dan tidak
menyukai lagi dengan kecenderungan alami tersebut. Pada saat ini, anda akan
mengalami kedamaian spirtual dan kegembiraan dalam mencapai kebebasan penyakit
ini.
Ghibah sering diakibatkan kelemahan dalam jiwa seorang
penggunjing, , seperti rendahan diri. Anda harus menelaah ke dalam jiwa anda
untuk menemukan apa kelemahan yang mendorong anda untuk memfitnah saudaramu ,
kemudian tetapkan untuk memperbaiki kelemahan tersebut.
Al-Qur’an telah
mengungkapakan banyak cara untuk terapi ghibah yang harus di ingat-ingat oleh
seorang muslim, diantaranya adalah:
1.
Firman Allah swt dalam QS An-Nisa’(4):83
#sŒÎ)ur öNèduä!%y` ÖøBr& z`ÏiB Ç`øBF{$# Írr& Å$öqy‚ø9$# (#qãã#sŒr& ¾ÏmÎ/ ( öqs9ur çnr–Šu‘ ’n<Î) ÉAqß™§9$# #†n<Î)ur ’Í<'ré& ÌøBF{$# öNåk÷]ÏB çmyJÎ=yès9 tûïÏ%©!$# ¼çmtRqäÜÎ7/ZoKó¡o„ öNåk÷]ÏB
Dan apabila datang
kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu
menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri itu mengetahui
kebenarannya
Maka dalam segala urusan syar’I atau duniawi, besar atau kecil, baik atau
buruk, pengembalian hanya kepada Allah, sunnah Rasul-Nya dan pada para ulama
Dengan itu perkara perkara tersebut ditimbang dan menjadi benar lagi
bermanfaat, yang hanya bias diketahui oleh orang yang ditunjukkan kepada
kebaikan, dan tertutup bagi selainnya.
Al-Qurthuubi
menjelaskan, “ Artinya bahwa apabila mereka mendengar suatu berita yag
mengandung ketentraman, seperti kemenangan kaum muslimin dan terbunuhnya
musuh-musuh mereka, (atau ketakutan) yakni kebalikan dari hal itu maka (mereka
menyiarkannya), Yakni mereka menyebarkan mengungkapkan dan
memperbincangkan sebelum mengetahui kebenarannya,”
Menurut Hasan, hal ini terjadi pada komunitas umat Islam yang lemah imannya,
kerena mereka menyiarkan urusan nabi dan mengira tidak ada dosa atas mereka
akibat perbuatan itu.
Dhohhak dan Ibnu Zaid mengatakan, “ perbuatan itu berkenaan dengan orng
munafik. Maka mereka dilarang dari segi hal itu lantaran kebohongan yang mereka
tambahkan dalam rangka menimbulkan kekacauan.”
2.
Firman Allah swt dalam QS Al-Hujurat(49):6
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å™$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ŠÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4’n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBω»tR ÇÏÈ
“Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Sebab turun ayat diatas, cukuplah peristiwa itu menjadi nasihat dan peringatan
untuk tidak menerima ucapan atau berita kecuali setelah meneliti dan mengecek
ulang, memastikan, berhati-hati serta berusaha mengetahui sendiri hakikat dan
kandungannya, atau melalui orang-orang yang terpercaya
3.
Firman Allah dalam QS Al-Ahzab :60-61
* ûÈõ©9 óO©9 ÏmtG^tƒ tbqà)Ïÿ»oYßJø9$# tûïÏ%©!$#ur ’Îû NÎgÎ/qè=è% ÖÚt¨B šcqàÿÅ_ößJø9$#ur ’Îû ÏpuZƒÏ‰yJø9$# š¨ZtƒÎøóãZs9 öNÎgÎ/ ¢OèO Ÿw štRrâ‘Îr$pgä† !$pkŽÏù žwÎ) Wx‹Î=s% ÇÏÉÈ šúüÏRqãèù=¨B ( $yJuZ÷ƒr& (#þqàÿÉ)èO (#rä‹Ï{é& (#qè=ÏnFè%ur Wx‹ÏFø)s?
“Sesungguhnya
jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang- orang yang berpenyakit dalam
hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari
menyakitimu), niscaya kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, Kemudian
mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang
sebentar,
Dalam
keadaan terlaknat. di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh
dengan sehebat-hebatnya.”
Al-
Qurthubi mengatakan,” Ayat ini turun berkenaan dengan para pelaku kekejian.”
Allah swt tidak menyebutkan obyek
perbuatan yang harus mereka tinggalkan,agar hal ini mencakup segala keburukan
yang dibisikkan, dihasut dan diseru oleh jiwa mereka, berupa sikap mencela
Islam dan pemeluknya, menimbukan keresahan di kaum muslimin, melemahkan
kekuatan mereka, serta menuduhkan kejelekan dan kekejian pada kaum mukminat,
serta perbuatan-perbuatan maksiat lainnya yang bersumber dari orang-orang
seperti mereka.
4.
Merenungkan berita bohong (haditsul ifki) yang Allah swt telah
menurunkan dalam Al-Qur’an yang dibaca sampai hari kiamat, dan membebaskan
ummul mukminin ‘Aisyah dari kebohongan itu dan membersihkan keluarga Rasulullah
saw. Yakni kisah ini memuat beberapa pedoman dan kaidah syari’at yang menyikapi
pernyataan dan berita yang biasa didengar manusia dalam setiap masa.
5.
Firman Allah swt dalam QSAn-Nur (24):19
žcÎ) tûïÏ%©!$# tbq™7Ïtä† br& yì‹Ï±n@ èpt±Ås»xÿø9$# ’Îû šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNçlm; ë>#x‹tã ×LìÏ9r& ’Îû $u‹÷R‘‰9$# ÍotÅzFy$#ur 4 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ óOçFRr&ur Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÊÒÈ
“Sesungguhnya
orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di
kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di
akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak Mengetahui.”
Ibnu Katsir berkata, Ini adalah
pelajaran ketiga bagi orang yang mendengar suatu perkataan yang buruk lantas
mempengaruhi pikirannya dan ia ingin menyebarkannya.. Orang yang gembira
mengekpos berita buruk tentang orang beriman, maka mereka akan mendapatkan azab
yang pedih didunia dan akhirat. Maka kembalikanlah semua permasalahan itu pada
Allah.
6.
Firman Allah swt dalam QS Al-Isra’(17):36
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur ‘@ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
“Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya.”
Allah melarang
berbicara tanpa dasar ilmu, tetapi hanya berlandasan asumsi yang merupakan
halusinasi dan khayalkan belaka
7.
Firman Allah swt dalam QS Al-Ahzab (33):58
tûïÏ%©!$#ur šcrèŒ÷sムšúüÏZÏB÷sßJø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur ÎŽötóÎ/ $tB (#qç6|¡oKò2$# ωs)sù (#qè=yJtFôm$# $YZ»tFôgç/ $VJøOÎ)ur $YYÎ6•B ÇÎÑÈ
“Dan orang-orang yang
menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka
perbuat, Maka Sesungguhnya mereka Telah memikul kebohongan dan dosa yang
nyata.”
8. Hendaklah seorang muslim
berkeinginan kuat untuk beribadah kepada Allah swtdan mengeratkan hubungan
dengan-Nya, sehingga ia menggapai ketaqwaan yang mampu membentengi
dirinya dari setiap perbuatan dan ucapan haram atau menyimpang, yang akan
melahirkan sikap istiqamah hakiki dalam semua permasalahan. Allah swt berfirman
dalam QS Al- Ahzan(33):70-71
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#qä9qè%ur Zwöqs% #Y‰ƒÏ‰y™ ÇÐÉÈ ôxÎ=óÁムöNä3s9 ö/ä3n=»yJôãr& öÏÿøótƒur öNä3s9 öNä3t/qçRèŒ 3 `tBur ÆìÏÜム©!$# ¼ã&s!qß™u‘ur ô‰s)sù y—$sù #·—öqsù $¸JŠÏàtã ÇÐÊÈ
“70. Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah
perkataan yang benar, 71. Niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan barangsiapa mentaati
Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia Telah mendapat kemenangan yang
besar.”
Jadi, keselamatan,
keberuntungan, kebahagiaan di dunia dan di akhirat serta keberhasilan yang
gemilangitu terletak pada kepatuhan pada Allah swt dan Rasulullah saw yaitu
dengan melaksanakan hal-hal yang diperintahkan dan di wajibkan serta menjauhi
semua yang dilarang dan diharamkan. Kemudian melengkapinya dengan menjalankan
amlan-amalan sunnah, serta menghindari hal-hal yang makhruh dan syubhat, baik
berupa perkataan atau perbuatan . Barangsiap yang melakukan hal itu,
sesungguhnya ia telah membersihkan agamanya.
9.
Muroqobatulloh (merasa senantiasa diawasi oleh Allah) dalam
ucapan dan perbuatan, dengan memperhatikan firman Allah swt dalam QS Qof
(50):18
$¨B àáÏÿù=tƒ `ÏB @Aöqs% žwÎ) Ïm÷ƒy‰s9 ë=‹Ï%u‘ Ó‰ŠÏGtã ÇÊÑÈ
“Tiada suatu ucapanpun
yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat Pengawas yang selalu
hadir.”
Andaikata setiap manusia meletakkan ayat ini di depan matanya, didalam pikiran
dan hatinya, seraya merenungi dan memahami maknanya, sebelum ia berbicara
sesuatu , niscaya ia selamat dan tidak ada kesalahan dari dirinya.
10. Firman
Allah dalam QS An-Nahl (16):43 dan Ali ‘Imron(3):187
!$tBur $uZù=y™ö‘r& ÆÏB y7Î=ö6s% žwÎ) Zw%y`Í‘ ûÓÇrqœR öNÍköŽs9Î) 4 (#þqè=t«ó¡sù Ÿ@÷dr& Ìø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. Ÿw tbqçHs>÷ès? ÇÍÌÈ
“Dan
kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri
wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui,”(An-Nahl(16):43)
øŒÎ)ur x‹s{r& ª!$# t,»sVŠÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# ¼çm¨Zä^ÍhŠu;çFs9 Ĩ$¨Z=Ï9 Ÿwur ¼çmtRqßJçGõ3s?
Dan (ingatlah),
ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang Telah diberi Kitab (yaitu):
"Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu
menyembunyikannya,"
Maka, Ia harus
mengembalikan permasalahan pada para ulama dan mengemban ilmu syari’at. Sebab
para ulama adalah pewaris para nabi yang menyampaikan pribsip-prinsip syari’at
dan batasan-batasan yang berasal dari Allah dan RasuNya, yang menerapkan
hokum-hukumNya atas musibah yag berlangsung di tengah masyarakat, segala
problematika dan kejadian yang silih berganti, baik yang besar atau yang kecil,
yang pelik atau jelas permasalahan agama atau dunia. Berdasarkan hal itu maka
para ulama meneguhkan dan mengokohkan mereka , menjelaskan apa yang menjadi
permasalahan mereka, membiming mereka dalam hal ibadah, muamalah, menjalin
hubungan, tingkah laku dan semua urusan mereka, menjadikan mereka bertindak
atas dasar petunjuk dan ilmu, tanpa ada keraguan atau kebimbangan[12]
Menurut Sunnah ada
cara-cara yang dilakukan untuk membentengi diri dari gosip, yaitu:
1.
Rasulullah saw bersabda
من كان يؤمن بالله و اليوم الاخر فلا
يؤذ جاره من كان يؤمن بالله و اليوم الاخر فليكرم ضيفه من كان يؤمن
بالله و اليوم الاخر فليقل خيرا او ليصمت
“Barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia menyakiti hatinya, maka
hendaknya ia memuluakan tamunya dan barang siap yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, maka hendaknya ia mengatakan yang baik atau diam”
Hadits di atas memuat
tiga perkara yang menghimpun nilai-nilai akhlak mulia dalam perbuatan dan
ucapan. Intinya barangsiapa yang sempurna keimanannya, maka ia memiliki rasa
kasih saying terhadap makhluk Allah dengan mengucapkan yang baik, diam dari
keburukan, melakukan hal yang bermanfaat atau meninggalkan sesuatu yang
membahayakan.
2.
Ada sejumlah hadits seputar keutamaan diam, diantaranya hadits Sufyan bin
Abdillah Ats-Tsaqofi, aku berkata,” Wahai Rasulullah, apa yang paling anda
khawatirkan terhadap diriku?” Beliau bersabda,”Ini”, dan beliau memegang
lidah.”(HR. Tirmidzi)
Dalam hadits ini
dapat kita lihat bahwa sangat sulit untuk menjaga lidah. Nabi telah memberi
isyarat terhadap bahaya lidah tersebut
3.
Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shohihnya, Nabi saw bersabda
من يضمن لى ما بين لحييه وما بين رجليه
آضمن له الجنة
“Siapa yang berani
menjamin kepadaku apa yang ada diantara dua jenggotnya dan apa yang ada
diantara dua kakinya, akhirnya aku menjaminkan surga untuknya”
Menurut Ibnu Hajar
maksud hadits ini adalah, barangsiapa yang menunaikan kewajiban lidahnya berupa
apa yang harus diucapkan atau diam dari apa yang tidak bermanfaat, dan
menunaikan kewajiban kemaluannya berupa meletakkan pada yang halal dan
menahannya dari yang haram
Maksud “ apa yang ada
diantara dua jenggot” adalah lidah dan organ yang membantu bicara, dan apa yang
ada diantara dua kaki adalah kemaluan.
Jadi siapa yang
betul-betul menjaga hal itu, maka maka dia terlindungi dari segala
keburukan, karena baginya hanya tersisa untuk menjaga pendengaran dan
penglihatan.
4.
Hendaklah seorang muslim menyadari bahwa menjaga dan mengekang lidah dari
segala hal yang dilarang syari’at yang suci termasuk pilar dasar dan benteng
untuk melindungi diri dari berbuat ghibah, adu domba, dan gossip, serta setiap
ucapan yang di tolok oleh syari’at dan akal. Bahkan hal tersebut merupakan
konsep pemahaman yang harus disandang dan dimiliki manusia serta menjadi bukti
kekuatan nalarnya, keakuratan pemahaman, kebulatan tekad baiknya perilaku dan
cintanya terhadap Islam serta jauhinya dari sifat khianat. Yakni suatu hal yang
memberikan efek kepada orang lain untuk mencintai, menghormati, mempercayai,
memuji dan merasa aman disampingnya.
5.
Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya bahwa ‘Umar bin Khoththob melihat Abu
Bakar sedang menjulurkan lidahnya, maka dia berkata,”Apa yang sedang anda
lakukan, wahai kholifah Rasulullah?” Ia menjawab,” Sesungguhnya ia membawaku
kepada berbagai kesalahan dan sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda” Tidak
ada satu organpun kecuali mengadukan lidah kepada Allah karena ketajamannya”
Dari penjelasan
hadits diatas bahwa banyak masalah dalam kehidupan ini disebabkan oleh lidah.
Sangat penting bagi kita untuk dapat menjaga lidah. Selalu ingat dengan bahaya
lidah yang sudah di gambabarkan oleh Allah dalam firmanNya dan Nabi Muhammad
saw dalam hadits-hadits beliau.[13]
DAFTAR PUSTAKA
Masyhur,
Kahar, membina Moral dan Akhlak, Kalam Mulia, Jakarta, 1985
Hawa,
Said, Mensucikan Jiwa,Robbani Press, Jakarta, 2005
M.
Al-Jamal, Ibrahim, Penyakit-Penyakit Hati, Pustaka Hidayah, Bandung,
1985
Abal
Khoil, Sulaiman, Menyantap Bangkai Manusia, Wacana Ilmiah Press,
Solo, 2006
Hasan
bin Ahmad Asy-Syakir Al-Kaubawi, Usman bin Durrotun Nasihin terjemah oleh
Abdul Riyadh, Mesir, Surabaya, 1993
Kahar Masyhur,
membina
Moral dan Akhlak, Kalam Mulia, Jakarta, 1985:hal 217
Muslimah.or.id/akhlak dan
nasihat
(Muslim no 2589, Abu
Dawud no 4874, At-Tirmidzi no 1999 dan lain-lain)
(Kitab As-Somt no 211,
berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini : “Rijalnya tsiqoh”)
Ibrahim M. Al-Jamal,
Penyakit-Penyakit
Hati, Pustaka Hidayah, Bandung, 1985 hal 82-83
Usman bin Hasan bin Ahmad
Asy-Syakir Al-Kaubawi,
Durrotun Nasihin terjemah oleh Abdul Riyadh,
Mesir, Surabaya, 1993 hal880-881
Ibrahim M. Al-Jamal,
Penyakit-Penyakit
Hati, Pustaka Hidayah, Bandung, 1985 hal 60-62
Said Hawa,
Mensucikan
Jiwa,Robbani Press, Jakarta, 2005, hal522-523
http://www.oaseqalbu.net/?p=292 didownload pada Ahad, 18 Desember 2011
Sa’id
Hawwa,
opcit, hal 524-525
Ibrahim M. Jamal ,
Opcit, 93-96
Sulaiman Abal Khoil,
Menyantap Bangkai Manusia, Wacana Ilmiah Press,
Solo, 2006 hal40-65
Sulaiman Abal Khoil,
Ibid 71-80